Senin, 20 Desember 2010

Cap Badak

Cap Badak
Badak yang satu ini memang terkenal di seantero Sumatera Utara. Bukan sate daging badak, tapi Badak yang menyegarkan.
Badak adalah merek minuman bersoda yang usianya hampir seratus tahun. Di botol minuman tertera gambar badak bercula satu dan tulisan “Badak”. Badak telah melegenda di Kota Medan, Kota Pematang Siantar, dan sekitarnya. Badak dengan mudah ditemukan berdampingan dengan minuman bersoda lainnya di berbagai rumah makan.
Bagi warga Medan dan Pematang Siantar, Badak telah menjadi bagian sejarah mereka sejak lama. Badak lebih dahulu dikenal dibandingkan dengan minuman bersoda dengan merek internasional dan teh botol itu. Badak telah hadir di Pematang Siantar dan Medan.
Tahun 1916, pabrik dengan nama NV Ijs Fabriek Siantar didirikan Heinrich Surbeck, pria kelahiran Halau, Swiss, di Kota Pematang Siantar. Perusahaan ini memproduksi es batu dan juga minuman bersoda. Melihat angka tahunnya, minuman ini diproduksi jauh sebelum minuman bersoda lainnya masuk ke Indonesia, seperti Coca-Cola yang diperkenalkan tahun 1927 dan baru diproduksi di Jakarta tahun 1932.
Tidak diketahui persis alasan Pematang Siantar dipilih sebagai lokasi pabrik. Hanya saja kota itu diperkirakan menghasilkan air yang bagus untuk es batu. Di sisi lain, kota itu yang dikelilingi perkebunan memiliki penduduk dengan kantong tebal, yang berarti pula berpotensi menjadi konsumen mereka pada masa itu. Pada masa lalu pejabat perkebunan dari daerah sekitar banyak beristirahat di Kota Pematang Siantar.
Pabrik minuman ini berkembang pesat. Perusahaan yang juga mengelola pembangkit listrik dan hotel ini memproduksi sejumlah minuman bersoda dengan berbagai rasa, mulai dari jeruk, anggur, sarsaparila, hingga air soda. Salah satu rasa yang terkenal dan masih digemari masyarakat Pematang Siantar dan Medan adalah rasa sarsaparila, sebuah rasa yang diekstrak dari tumbuhan herbal yang berasal dari Meksiko. Orang Medan kadang menyebut “sarsi” untuk minuman, kependekan dari sarsaparila.
Ketika pendudukan Jepang, pabrik ini masih bertahan. Penjajah Jepang menempatkan seorang wakilnya saat mengelola perusahaan ini. Pabrik tetap beroperasi seusai kemerdekaan. Akan tetapi, situasi kemudian berubah ketika Heinrich Surbeck dibunuh oleh laskar rakyat yang memberontak melawan Belanda seusai Proklamasi Kemerdekaan. Dua anak Surbeck sempat diungsikan ke Eropa sehingga mereka selamat.
Meski tanpa kehadiran keluarga Surbeck, NV Ijs Fabriek Siantar tetap beroperasi. Elman Tanjung dan kawan-kawannya tetap mengelola usaha itu hingga kemudian salah satu anak Surbeck, yaitu Lydia Rosa, kembali ke Pematang Siantar pada tahun 1947. Di kota itu Rosa menikah dengan seorang pria Belanda bernama Otto. Otto kemudian mengelola usaha ini hingga tahun 1959.
Gonjang-ganjing di Tanah Air yang disertai isu nasionalisasi aset pada tahun itu menjadikan Otto menyerahkan pengelolaan NV Ijs Fabriek Siantar kepada Tanjung. Sampai tahun 1963, Otto dan Rosa masih berada di Indonesia hingga kemudian mereka keluar dari Indonesia menuju Swiss. Sejak saat itu Tanjung mengelola sepenuhnya usaha ini.
Saat mengelola usaha ini, Tanjung berkenalan dengan Julianus Hutabarat. Hutabarat yang bersama saudara-saudaranya telah memiliki usaha dengan nama Barat Trading Company ternyata berminat. Tanjung kemudian menyampaikan hal itu kepada Otto. Pada tahun 1969 Hutabarat akhirnya membeli perusahaan itu. Ia membeli dengan cara mencicil hingga pada tahun 1971 perusahaan itu benar-benar menjadi milik Hutabarat sepenuhnya. Perusahaan ini berubah nama menjadi PT Pabrik Es Siantar. Sampai tahun 1987 Tanjung masih dipercaya mengelola perusahaan ini.
Proses Produksi
Tak ada yang berubah dari PT Pabrik Es Siantar, semua mesin-mesinnya sudah tua dimakan usia. Hanya pekerjanya saja yang mengalami regenerasi. Badak kini dipimpin oleh orang-orang muda. Immanuel Basar Hutabarat, didaulat memimpin Badak warisan orang tuanya.
Pembuatannya sangat sederhana. Botol-botol harus disterilkan menggunakan mesin, pekerja berfungsi sebagai operator. Campuran air dan sirup dipanaskan hingga matang, baru dicampurkan dengan CO 2.  campuran semua bahan tersebut baru dimasukkan ke dalam botol dan ditutup. Botol yang sudah berisi minuman sarsi dan soda harus diuji dengan alat pengukur standariasai CO2.
Sayang sekali produksi Badak sekarang agak berkurang. Produksi hanya tinggal separuh dibandingkan dengan saat mereka jaya. Jenis rasa pun berkurang, sekarang hanya tinggal sarsaparila dan air soda.
Untuk membuat satu rasa, kita harus membeli satu esens. Kemudian untuk memproduksi satu rasa, kita harus membersihkan alat dan mesin minimal empat jam agar tidak terjadi pencampuran rasa. Karena kesulitan itu, kami hanya memproduksi sarsaparila dan air soda.
Badak masih bisa dikembangkan lagi. Merek Badak yang telah masyhur juga menjadi aset penting sehingga bila usaha ini dikembangkan, mereka tak perlu membangun nama lagi. Mereka hanya ingin merek Badak makin berjaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar