Senin, 20 Desember 2010

Celengan Malo

Cap Badak

Cap Badak
Badak yang satu ini memang terkenal di seantero Sumatera Utara. Bukan sate daging badak, tapi Badak yang menyegarkan.
Badak adalah merek minuman bersoda yang usianya hampir seratus tahun. Di botol minuman tertera gambar badak bercula satu dan tulisan “Badak”. Badak telah melegenda di Kota Medan, Kota Pematang Siantar, dan sekitarnya. Badak dengan mudah ditemukan berdampingan dengan minuman bersoda lainnya di berbagai rumah makan.
Bagi warga Medan dan Pematang Siantar, Badak telah menjadi bagian sejarah mereka sejak lama. Badak lebih dahulu dikenal dibandingkan dengan minuman bersoda dengan merek internasional dan teh botol itu. Badak telah hadir di Pematang Siantar dan Medan.
Tahun 1916, pabrik dengan nama NV Ijs Fabriek Siantar didirikan Heinrich Surbeck, pria kelahiran Halau, Swiss, di Kota Pematang Siantar. Perusahaan ini memproduksi es batu dan juga minuman bersoda. Melihat angka tahunnya, minuman ini diproduksi jauh sebelum minuman bersoda lainnya masuk ke Indonesia, seperti Coca-Cola yang diperkenalkan tahun 1927 dan baru diproduksi di Jakarta tahun 1932.
Tidak diketahui persis alasan Pematang Siantar dipilih sebagai lokasi pabrik. Hanya saja kota itu diperkirakan menghasilkan air yang bagus untuk es batu. Di sisi lain, kota itu yang dikelilingi perkebunan memiliki penduduk dengan kantong tebal, yang berarti pula berpotensi menjadi konsumen mereka pada masa itu. Pada masa lalu pejabat perkebunan dari daerah sekitar banyak beristirahat di Kota Pematang Siantar.
Pabrik minuman ini berkembang pesat. Perusahaan yang juga mengelola pembangkit listrik dan hotel ini memproduksi sejumlah minuman bersoda dengan berbagai rasa, mulai dari jeruk, anggur, sarsaparila, hingga air soda. Salah satu rasa yang terkenal dan masih digemari masyarakat Pematang Siantar dan Medan adalah rasa sarsaparila, sebuah rasa yang diekstrak dari tumbuhan herbal yang berasal dari Meksiko. Orang Medan kadang menyebut “sarsi” untuk minuman, kependekan dari sarsaparila.
Ketika pendudukan Jepang, pabrik ini masih bertahan. Penjajah Jepang menempatkan seorang wakilnya saat mengelola perusahaan ini. Pabrik tetap beroperasi seusai kemerdekaan. Akan tetapi, situasi kemudian berubah ketika Heinrich Surbeck dibunuh oleh laskar rakyat yang memberontak melawan Belanda seusai Proklamasi Kemerdekaan. Dua anak Surbeck sempat diungsikan ke Eropa sehingga mereka selamat.
Meski tanpa kehadiran keluarga Surbeck, NV Ijs Fabriek Siantar tetap beroperasi. Elman Tanjung dan kawan-kawannya tetap mengelola usaha itu hingga kemudian salah satu anak Surbeck, yaitu Lydia Rosa, kembali ke Pematang Siantar pada tahun 1947. Di kota itu Rosa menikah dengan seorang pria Belanda bernama Otto. Otto kemudian mengelola usaha ini hingga tahun 1959.
Gonjang-ganjing di Tanah Air yang disertai isu nasionalisasi aset pada tahun itu menjadikan Otto menyerahkan pengelolaan NV Ijs Fabriek Siantar kepada Tanjung. Sampai tahun 1963, Otto dan Rosa masih berada di Indonesia hingga kemudian mereka keluar dari Indonesia menuju Swiss. Sejak saat itu Tanjung mengelola sepenuhnya usaha ini.
Saat mengelola usaha ini, Tanjung berkenalan dengan Julianus Hutabarat. Hutabarat yang bersama saudara-saudaranya telah memiliki usaha dengan nama Barat Trading Company ternyata berminat. Tanjung kemudian menyampaikan hal itu kepada Otto. Pada tahun 1969 Hutabarat akhirnya membeli perusahaan itu. Ia membeli dengan cara mencicil hingga pada tahun 1971 perusahaan itu benar-benar menjadi milik Hutabarat sepenuhnya. Perusahaan ini berubah nama menjadi PT Pabrik Es Siantar. Sampai tahun 1987 Tanjung masih dipercaya mengelola perusahaan ini.
Proses Produksi
Tak ada yang berubah dari PT Pabrik Es Siantar, semua mesin-mesinnya sudah tua dimakan usia. Hanya pekerjanya saja yang mengalami regenerasi. Badak kini dipimpin oleh orang-orang muda. Immanuel Basar Hutabarat, didaulat memimpin Badak warisan orang tuanya.
Pembuatannya sangat sederhana. Botol-botol harus disterilkan menggunakan mesin, pekerja berfungsi sebagai operator. Campuran air dan sirup dipanaskan hingga matang, baru dicampurkan dengan CO 2.  campuran semua bahan tersebut baru dimasukkan ke dalam botol dan ditutup. Botol yang sudah berisi minuman sarsi dan soda harus diuji dengan alat pengukur standariasai CO2.
Sayang sekali produksi Badak sekarang agak berkurang. Produksi hanya tinggal separuh dibandingkan dengan saat mereka jaya. Jenis rasa pun berkurang, sekarang hanya tinggal sarsaparila dan air soda.
Untuk membuat satu rasa, kita harus membeli satu esens. Kemudian untuk memproduksi satu rasa, kita harus membersihkan alat dan mesin minimal empat jam agar tidak terjadi pencampuran rasa. Karena kesulitan itu, kami hanya memproduksi sarsaparila dan air soda.
Badak masih bisa dikembangkan lagi. Merek Badak yang telah masyhur juga menjadi aset penting sehingga bila usaha ini dikembangkan, mereka tak perlu membangun nama lagi. Mereka hanya ingin merek Badak makin berjaya.

Permen Davos

Rabu, 15 Desember 2010

Kopi Aroma


Kopi Aroma
Perkebunan kopi di Indonesia adalah buah ekspansi Belanda. Gubernur Jenderal Johannes Van Den Bosch, ketika itu menerapkan sistem tanam paksa pada abad ke 18. seperlima lahan pertanian, harus ditanami komoditas yang menguntungkan bagi pasar Eropa.
Tanah Jawa adalah salah satu wilayah penghasil kopi terbaik pada waktu itu. Termasuk di Jawa Barat. Di tanah Priangan, kopi menjadi komoditas menguntungkan. Dalam waktu empat puluh tahun, Belanda berhasil menarik 832 juta gulden dari tanaman ini.

Kopi Jawa betul-betul berjaya pada masa itu. Masa keemasan yang ingin dikembalikan oleh pabrik kopi Aroma.
Bandung memang kaya dengan bangunan bergaya art deco. Gedung-gedung inilah saksi bisu, bagaimana penjajahan yang terjadi di Indonesia. Tahun 1930-an, Bandung memang dijadikan sebagai basis kekuatan bagi bangsa Belanda. Di kota ini banyak dibuka kebun-kebun yang menunjang bagi perdagangan bangsa-bangsa Eropa pada waktu itu, termasuk kopi.
Kopi Aroma adalah salah satu usaha dagang yang sudah ada di jaman ini dan masih bertahan hingga sekarang. Lokasi pabrik pun masih tetap sama, di sudut Jalan Pecinan Lama, Banceuy, Bandung.
Kekunoannya masih tetap dipertahankan. Tidak ada yang berubah seperti delapan puluh tahun lalu. Hanya pemilik dan pekerja yang sudah berganti generasi. Masa emas  kopi Aroma terjadi ketika perusahaan dibawah kendali Tan Houw Sian. Kini usaha dialihkan ke putranya, Widya Pratama. Kopi Aroma sudah mengalami dua generasi kepemimpinan.
Pemilihan Kopi
Tradisi pabrik kopi Aroma masih dijaga hingga sekarang, terutama dalam hal pemilihan bahan baku. Biji kopi yang dipilih adalah kopi yang memiliki mutu terbaik alias kelas satu. Pabrik kopi Aroma lebih memilih kopi yang berasal dari daerah Lebak Muncang, Ciwidey. Karena di daerah itu ditanam kopi Arabika Jawa, lebih dikenal dengan kopi Jawa.
Dari jaman Belanda, Lebak Muncang dikenal sebagai penghasil kopi kelas wahid di Jawa Barat. Daerah perbukitan ini memang memenuhi syarat untuk menghasilkan kopi terbaik. Memiliki ketinggian seribu meter di atas permukaan laut, bersuhu sedang.
Mutu kopi ditentukan sejak awal penanaman. Bibit kopi harus baik dan sehat. Perlakuan terhadap tanaman kopi pun berbeda dengan tanaman perkebunan lainnya. Kopi yang baik adalah menggunakan bahan-bahan alami dalam perawatannya, termasuk penggunaan pupuk.
Masa panen kopi adalah selama enam bulan tanpa henti dalam kurun satu tahun. Buah kopi yang sudah merah yang boleh dipetik. Proses pemetikannya pun harus satu-satu. Kebiasaan yang menentukan mutu kopi.
Proses Produksi
Pabrik kopi Aroma tetap membeli kopi dari petani dalam bentuk biji kopi kering. Biji-biji kopi Arabika ini tak bisa langsung diolah. Biji kopi harus kembali dikeringkan dengan cara dijemur. Panas matahari tidak pernah tergantikan oleh mesin oven. Sinar ultra violet dari mataharilah yang membuat biji kopi lebih tahan lama dan aromanya tetap terjaga.
Proses penjemuran biasanya dilakukan ketika musim kemarau. Pada musim ini, para pekerja harus bekerja ekstra untuk mengeringkan biji kopi. Karena ketika musim hujan, mereka tak bisa menjemur biji kopi.
Biji kopi yang sudah kering disimpan dalam karung goni. Karena karung ini memberi sirkulasi udara yang baik. Dan kopi pun tak lembab. Biji-biji kopi Arabika ini harus menunggu hingga delapan tahun, dan kopi Robusta lima tahun untuk bisa diolah. Proses ini dinamakan fermentasi, untuk menurunkan kadar kafein dan tingkat keasaman kopi. Proses inilah yang menentukan aroma dan cita rasa kopi kelas satu.
Biji kopi yang sudah difermentasi baru bisa masuk ke proses selanjutnya. Biji kopi mulai disangrai. Harus matang tapi tidak boleh hangus. Menggunakan bola besi yang sudah dimodifikasi menjadi wadah inilah proses sangrai dilakukan. Bola ini harus terus diputar agar panasnya merata di tiap sisi. Proses menggerakkannya pun menggunakan mesin listrik.
Demi mutu kelas satu, ada beberapa hal yang tak boleh diganti. Kayu bakar yang digunakan harus kayu karet. Alasannya, kayu ini yang menghasilkan bara api merata dan ini cocok sekali untuk memasak kopi.
Proses sangrai memakan waktu hingga dua jam. Selama itu, api tidak boleh padam dan juga tidak boleh terlalu besar. Widya sendiri mengontrol proses ini. Pengalaman dan dedikasinyalah yang menjadi penentu mutu kopi yang dihasilkan.
Biji kopi yang sudah mengeluarkan aroma dan berwarna gelap harus segera diangkat dan dipindahkan ke wadah yang rata. Pekerja segera mebolak-balikan biji kopi agar cepat dingin. Biji kopi matang masuk mesin pemisah berat. Mesin ini sudah uzur, tapi masih mampu bekerja untuk memisahkan biji kopi sesuai beratnya.

Setelah itu, biji kopi diayak, untuk memisahkan biji kopi dengan kulitnya. Tak lagi mengandalkan tnaga manusia, tapi sudah menggunakan mesin.  Kopi pun siap digiling menjadi bubuk. Pabrik menggunakan mesin penggilingan baru, tapi tetap saja mesin-mesin lama masih digunakan.

Pegawai-pegawai di toko sibuk mengemas bubuk kopi. Kemasannya pun masih tradisional, menggunakan kertas berbahan dasar daun. Ada tiga pilihan berat kemasan: 250 gram, 500 gram dan 1 kilogram.

Tak Pelit Ilmu
Widya Pratama memang sibuk dengan urusan pabrik dan pengajar di fakultas ekonomi Univ. Padjadjaran. Tapi/ ia tidak pelit ilmu. Dengan senang hati, Widya memberikan saran kepada para pembeli. Dan lagi-lagi, para pembeli diperkenankan masuk ke pabrik untuk melihat langsung proses  produksi.

Dari Widya kita belajar, bahwa kopi tak lekang ditelan jaman. Termasuk penggemarnya, ia tak akan habis dimakan modernisasi. Tapi, penjaga tradisi seperti Widya Pratama tak banyak lagi. Perlu kerja keras dan dedikasi tinggi. Nasib tradisi terbaik seperti ini ada di tangannya. Apakah ia akan mewariskannya, atau membiarkannya hilang bersama jaman.

Tas Koper President

Tas Koper President

Bagai sebuah magnet, tas adalah pilihan utama bagi kalangan fashionista yang rajin mengikuti perkembangan mode. Tas adalah kebutuhan utama, mulai dari anak kecil hingga orang dewasa.

Tahun 1970, di beberapa daerah terjadi kerusahan dan amuk massa anti Cina. Bangsa Indonesia tengah berada dalam musim transisi. Pada masa Orde Baru, penguasa berusaha meyakinkan dan memberikan paham yang sekiranya berbanding lurus dengan agenda kekuasaannya. Akibatnya, banyak terjadi eksodus orang-orang Tionghoa.

Tapi tidak dengan Johan Iskandar. Bersama keluarganya, Johan mendirikan usaha pembuatan tas koper dibawah naungan PT Continental Plastik. Usaha ini dikembangkan di Indonesia, setelah prinsipal tas koper merek President bangkrut.

Pada perkembangannya, di tahun 80-an, tas koper President mulai diproduksi secara massal di Indonesia dengan nama PT Continental Panjipratama. Pabrik dipindahkan, dari kawasan Bandengan, Jakarta Utara, ke daerah industri Tegal Alur, Jakarta Barat. Saat itu, pabrik hanya memproduksi satu jenis tas, yaitu tas kantor.

Pada masa jayanya di tahun 80-an, tas koper President adalah produk anak bangsa yang paling banyak dicari orang. Tas hitam ini menjadi trend tersendiri di segala kalangan. Dari mulai anak sekolah hingga kelas para pekerja.

Proses Produksi

Pembuatan tas koper President memang cukup rumit. Bahan baku didatangkan langsung dari luar negeri.

Lembaran-lebaran film digunakan sebagai bahan dasar untuk body tas. Lembaran film dimasukkan ke dalam mesin pencetakan khusus. Body tas pun terbentuk.

Body tas yang sudah terbentuk harus masuk dalam proses quality control, pinggiran body tas harus dipotong sesuai mal yang tersedia. Sisa-sisa potongan itu nantinya akan dimasukkan kembali ke dalam mesin, untuk didaur ulang.

Tas koper President memang memiliki body yang kuat. Para pekerja membuat frame dari lempengan alumunium untuk memperkuat tas koper. Frame harus sesuai dengan bentuk body, dibutuhkan ketelitian pekerja dalam pembuatannya. Frame yang sudah jadi dimasukkan ke mesin oven, tujuannya agar tak mudah patah ketika dipasang. Baru kemudian, masuk ke dalam mesin pewarnaan.


Material bahan yang sudah terbentuk masuk ke bagian assembling. Semuanya dijadikan satu hingga terbentuk tas.

Tas koper yang sudah jadi, harus dites ketahanannya. Pekerja di bagian quality control memukul pinggiran tas menggunakan palu. Produk tas harus sampai ke tangan konsumen dalam keadaan sempurna.

Tas koper President, memang tak lagi menjadi trend di tanah air. Mereka mengepakkan sayap ke luar Indonesia. Kini, Johan tak hanya memproduksi tas kantoran, tapi berbagai varian tas travel. Di dalam negeri, mereka malah kalah bersaing dengan tas-tas koper asing merek terkenal.

Ironi memang, tapi begitulah kenyataannya. Johan dan pekerjanya harus membuktikan, bahwa tas produksi anak bangsa ini harus tetap hidup. Ia tak lekang ditelan jaman.

Tas Koper President

Tas Koper President

Bagai sebuah magnet, tas adalah pilihan utama bagi kalangan fashionista yang rajin mengikuti perkembangan mode. Tas adalah kebutuhan utama, mulai dari anak kecil hingga orang dewasa.

Tahun 1970, di beberapa daerah terjadi kerusahan dan amuk massa anti Cina. Bangsa Indonesia tengah berada dalam musim transisi. Pada masa Orde Baru, penguasa berusaha meyakinkan dan memberikan paham yang sekiranya berbanding lurus dengan agenda kekuasaannya. Akibatnya, banyak terjadi eksodus orang-orang Tionghoa.

Tapi tidak dengan Johan Iskandar. Bersama keluarganya, Johan mendirikan usaha pembuatan tas koper dibawah naungan PT Continental Plastik. Usaha ini dikembangkan di Indonesia, setelah prinsipal tas koper merek President bangkrut.

Pada perkembangannya, di tahun 80-an, tas koper President mulai diproduksi secara massal di Indonesia dengan nama PT Continental Panjipratama. Pabrik dipindahkan, dari kawasan Bandengan, Jakarta Utara, ke daerah industri Tegal Alur, Jakarta Barat. Saat itu, pabrik hanya memproduksi satu jenis tas, yaitu tas kantor.

Pada masa jayanya di tahun 80-an, tas koper President adalah produk anak bangsa yang paling banyak dicari orang. Tas hitam ini menjadi trend tersendiri di segala kalangan. Dari mulai anak sekolah hingga kelas para pekerja.

Proses Produksi

Pembuatan tas koper President memang cukup rumit. Bahan baku didatangkan langsung dari luar negeri.

Lembaran-lebaran film digunakan sebagai bahan dasar untuk body tas. Lembaran film dimasukkan ke dalam mesin pencetakan khusus. Body tas pun terbentuk.

Body tas yang sudah terbentuk harus masuk dalam proses quality control, pinggiran body tas harus dipotong sesuai mal yang tersedia. Sisa-sisa potongan itu nantinya akan dimasukkan kembali ke dalam mesin, untuk didaur ulang.

Tas koper President memang memiliki body yang kuat. Para pekerja membuat frame dari lempengan alumunium untuk memperkuat tas koper. Frame harus sesuai dengan bentuk body, dibutuhkan ketelitian pekerja dalam pembuatannya. Frame yang sudah jadi dimasukkan ke mesin oven, tujuannya agar tak mudah patah ketika dipasang. Baru kemudian, masuk ke dalam mesin pewarnaan.


Material bahan yang sudah terbentuk masuk ke bagian assembling. Semuanya dijadikan satu hingga terbentuk tas.

Tas koper yang sudah jadi, harus dites ketahanannya. Pekerja di bagian quality control memukul pinggiran tas menggunakan palu. Produk tas harus sampai ke tangan konsumen dalam keadaan sempurna.

Tas koper President, memang tak lagi menjadi trend di tanah air. Mereka mengepakkan sayap ke luar Indonesia. Kini, Johan tak hanya memproduksi tas kantoran, tapi berbagai varian tas travel. Di dalam negeri, mereka malah kalah bersaing dengan tas-tas koper asing merek terkenal.

Ironi memang, tapi begitulah kenyataannya. Johan dan pekerjanya harus membuktikan, bahwa tas produksi anak bangsa ini harus tetap hidup. Ia tak lekang ditelan jaman.

Selasa, 14 Desember 2010

Tegel Kunci

Tegel Kunci

Jaman yang semakin modern ternyata tak menyurutkan orang untuk mencari kembali produk-produk lama. Seperti memburu tegel atau ubin kuno merek Kunci.

Cikal bakal Pabrik Tegel Kunci adalah Firma Tegel Fabriek Midden Java, yang didirikan Louis Marie Stockler dan Jules Grent Commanie, keduanya asal Belanda, pada 19 Desember 1929.

Usaha ini muncul setelah keruntuhan Wall Street. Di Amerika Serikat, pada waktu itu mulai terjadi Depresi Besar.

Efeknya memang tak sampai ke Indonesia. Malah, di tahun itu, banyak sekali bermunculan perusahaan yang didanai orang-orang Eropa, khususnya Belanda, di tanah ibu pertiwi.

Pabrik Tegel Kunci pada perkembangannya, bertempat di kawasan Pathok, Jogjakarta, ini tidak hanya memproduksi tegel, tapi juga buis beton dan conblock.

1931, Pabrik Tegel Kunci mengalami kesulitan keuangan. Liem Ing Hwie
masuk sebagai pemilik baru menggantikan Jules.
Ketika pendudukan Belanda di Indonesia berakhir, Louis pun angkat kaki.

Kini tampuk pimpinan dipegang oleh Paul dan Bernie Liem. Tapi Bernie
tidak mengelola perusahaan sendiri, ia menyerahkan kepada perusahaan
swasta untuk segi bisnis.


Proses Produksi

Bahan dasar pembuatan tegel standar masih menggunakan semen dan pasir.

Sedangkan untuk tegel warna, bahan dasar tersebut ditambah dengan
semen putih dan pewarna. Proses pembuatan tegel di pabrik ini memakai sistem padat karya, dari bahan dasar hingga menjadi tegel siap pakai dilakukan dengan tenaga manusia.

Semen putih yang sudah dicampur dengan pewarna menjadi lapisan teratas tegel. Bagian inilah yang menjadi daya tarik tegel warna. Butuh ketelitian dan sentuhan seni dalam pembuatannya.

Satu per satu warna dituang dalam cetakan sesuai dengan pola yang
sudah disiapkan.
Celah yang harus diisi sangat sempit, jadi para
pekerja harus jeli.

Teknik lainnya adalah teknis lukis. Pekerja menggunakan kuas untuk
membentuk motif tegel. Proses pengerjaannya sama sepeerti melukis di atas kanvas. Ini merupakan teknik yang sulit, karena jika pekerja sedikit saja melakukan kesalahan, motif akan berantakan. Bahkan warna satu dengan lainnya bisa bercampur. Ketebalan warna harus sesuai ukuran, yaitu 1 sampai 1,5 milimeter.

Tegel motif Centre Motif Double (CMD), adalah salah satu motif paling rumit. Motif ini adalah penggabungan empat tegel untuk menghasilkan satu motif. Berbeda dengan model Centre Motif Single (CMS), satu tegel satu motif.

Sementara untuk pembuatan tegel satu warna relative sederhana. Lapisan kedua tegel adalah semen putih yang sudah diberi pigmen warna.
Selanjutnya semen dan pasir halus. Untuk lapisan terakhir adalah semen dan pasir kasar, karena lapisan ini yang nantinya merekat ke lantai.

Problem besar yang dihadapi Pabrik Tegel Kunci, mereka tidak bisa
menggenjot angka produksi, karena masih mengandalkan tenaga manusia. Mereka selalu kalah dengan pabrik modern.

Untuk memadatkan tegel, pabrik sudah menggunakan peralatan modern, mesin press hidrolis. Karena tenaga manusia tak pernah konstan, tegel harus benar-benar padat dan keras.

Tegel setengah jadi ini dikeringkan, dengan cara dianginkan. Karena
kalau dijemur langsung di bawah sinar matahari, permukaan tegel bisa
retak.

Andalan dan Dicari Orang

Tegel warna dan motif adalah andalan Pabrik tegel Kunci bertahan dari kemajuan.
Tegel Kunci bisa dibilang sebagai peninggalan bangsa Eropa di tanah Jawa yang bernilai seni tinggi.

Inilah berkah bagi Pabrik Tegel Kunci. Di jaman serba canggih ini,
buah karya tangan justru bernilai ekonomi tinggi. Dan kenyataan
sejarah mulai kembali lagi, tegel yang telah dilupakan kini menjadi
primadona. Orang-orang kini mencari tegel, karena memiliki nilai seni.

Pabrik Tegel Kunci juga melayani pesanan khusus dari pelanggan. Para
pelanggan boleh memberikan rancangan motif sesuai keinginan mereka, tentunya saja dengan harga jual yang berbeda. Pemesannya sendiri kebanyakan dari luar Jogjakarta, bahkan luar negeri.

Harga yang dibanderol pun masih tergolong murah. Dari Rp 50 ribuan per m2 untuk tegel polos dan Rp 180 ribu per m2 untuk tegel bermotif.

Tegel tak hanya memberi warna, ia punya satu kelebihan yang tidak
dimiliki jenisa lantai lain. Tegel tidak licin. Tegel yang pernah lenyap, kembali bersinar. Tapi Pabrik Tegel Kunci harus melalui transformasi yang panjang, karena trend selalu berubah. Jaman akan menguji kekuatannya, apakah ia akan bertahan atau hancur didera
perubahan.

Sandal Lily


Sandal Lily

Trend fashion akan terus berkembang sepanjang jaman.
Bicara soal
fashion, tak bisa dilepaskan dari produk alas kaki, termasuk sandal.

Sebagai negara berkembang, Indonesia merupakan pangsa pasar potensial
bagi produk-produk fashion luar negeri. Padahal, kebutuhan fashion
produksi dalam negeri tak kalah kualitasnya. Dan itu bisa dipenuhi
oleh pengusaha-pengusaha lokal.

Seperti sandal merek Lily. Siapa yang tak mengenalnya? Sandal ini
adalah salah satu produk buatan Indonesia yang mampu bersaing di
pasaran.

Sandal Lily adalah kerajaan bisnis yang dimiliki keluarga Sasmita.
Awalnya, pasangan Lucas dan Linda Sasmita, menjadi distributor tunggal
sandal Lily di Indonesia.

Bisnis keluarga Sasmita berkembang pesat ketika prinsipal sandal Lily
di Jepang mengalami kebangkrutan di tahun 1968.
Awal rezim Orde Baru (Soeharto-red), adalah berkah bagi para pengusaha keturunan Tionghoa. Pemerintah, kala itu memang memberikan kemudahan untuk membuka jaringan bisnis di negara ini.

Peluang itu tak disia-siakan, keluarga Sasmita langsung memboyong mesin-mesin dan perangkat produksi perusahaan ke Indonesia. Sandal Lily tak lagi
diimpor dari negeri Sakura, tapi diproduksi langsung di Jalan
Mochammad Toha, Mauk, Tangerang.

Sandal Lily diproduksi dengan bendera PT. Panasea. Kini, tongkat
kepemimpinan diserahkan kepada putra semata wayang pasangan Lucas dan
Linda Sasmita, Hendrik Sasmita.

Sandal yang sempat booming di tahun 70-an, kini mulai tak terdengar
gaungnya. Dari awal diproduksi hingga sekarang, model sandal Lily tak
pernah mengalami perubahan. Tak heran, sandal ini dikenal sangat
konservatif.  Sandal Lily memang mengkhususkan pada pasar usia 40
tahun ke atas. Ciri khas inilah yang menjadikan sandal ini masih
banyak diburu orang.

Tahun 1970 hingga 1980-an, sandal Lily mengalami masa kejayaannya.
Tiap bulannya, PT. Panasea bisa memproduksi puluhan juta pasang
sandal. Jaman yang tak lagi ramah membuat namanya terus tenggelam.
Dari tahun ke tahun, angka produksi sandal karet ini terus menurun.
Keadaan itu juga diperparah oleh kenaikan harga karet, sebagai bahan
baku utama pembuatan sandal Lily.
Belum lagi, serbuan sandal-sandal
murah dari Cina.

Kini sandal Lily hanya mengandalkan konsumen fanatiknya.

Proses Produksi

Proses pembuatan sandal Lily masih tetap menggunakan mesin yang dibeli
oleh keluarga Sasmita langsung dari Jepang. Mesin sandal Lily tak
pernah tergantikan, hanya para pekerjanya saja yang mengalami
regenerasi.

Pabrik di Mauk, Tangerang, hanya dijadikan proses awal produksi. Di
sini, pekerja hanya membuat bagian atas dan bawah sandal.

Bahan baku utama pembuatan sandal adalah bijih  plastik atau polymer
PVC. Warna bijih plastik tetap sama hingga sekarang. Dominan warna
sandal Lily adalah: merah, biru, kuning keemasan, coklat dan hitam.

Bijih plastik dipindahkan ke alat penampungan pada mesin injeksi, dan
langsung dicairkan menggunakan panas listrik. Bijih plastik yang sudah
mencair ditembakkan ke dalam cetakan. Setelah 46 menit, bagian atas
sandal terbentuk.

Bagian atas sandal yang telah terbentuk dipindahkan ke bagian trimming
dan quality control. Para pekerja dengan silet membersihkan sisa-sisa
plastik di bagian atas sandal.

Pekerja juga membuat raw material rubber dan eva, atau lebih dikenal
sebagai bagian sol. Campuran tersebut dicairkan dan dipress selama 25
menit. Bahan yang sudah jadi itu dipindahkan dan didinginkan. Proses
ini adalah untuk membentuk material bagian bawah sandal.

Penyatuan bagian sandal tidak bisa dilakukan di Mauk, Tangerang.
Material sandal dikirim ke pabrik di Teluk Gong, Jakarta Utara.

Di sini, para pekerja hanya melakukan proses assembeling. Penyatuan
bagian atas dan bawah sandal yang telah terbentuk.

Campuran karet dan eva dipotong menjadi dua bagian. Pengerjaannya tak
lagi manual, tapi sudah menggunakan mesin pemotong. Inilah yang
disebut dengan bagian sol.

Potongan sol diberi lem dan dijalankan menuju mesin pemanas. Setelah
merekat sempurna, bagian sol digerinda hingga terbentuk sempurna.

Penyatuan bagian atas dan bawah sandal Lily menggunakan lem dan masih
mengandalkan tenaga para pekerjanya. Dibutuhkan ketelitian dalam
proses ini.

Setelah selesai, sandal Lily yang sudah terbentuk masuk ke bagian
packing. Pengemasannya pun masih menggunakan plastik sederhana.

Butuh Orang Muda

Sebagai penerus usaha keluarga, Hendrik Sasmita mengakui ekuitas merek
sandal Lily tak sekuat dulu lagi. Kalah popular dari merek-merek baru
yang jorjoran beriklan. Volume produksi dan omsetnya jauh berkurang.

Sandal Lily sepertinya butuh orang muda yang bisa mengembangkan Lily
sesuai perkembangan jaman. Memang tak mudah, tapi gebrakan bisa
membuat nama Lily kembali terdengar.

Tak mudah lagi menjumpai sandal Lily di toko-toko sandal. Untuk
menjaga produk di pasaran, sandal Lily tetap masuk pasar Jakarta. Jadi
bagi para pecinta sandal kuno ini tak perlu khawatir. Untuk
mendapatkannya, kita hanya perlu menjelajah ke toko Hero di Pasar
Pagi, Jakarta Barat.

Memang, kita tak lagi banyak menjumpai orang menggunakan sandal Lily.
Mungkin hanya orang yang fanatik yang masih bertahan, lantaran
kualitasnya memang lebih kuat dibandingkan sandal produk baru.

Sandal Lily sudah mulai tergerus jaman. Padahal, majunya bisnis alas
kaki di tanah air secara tak langsung karena peran mereka.
Nasib
mereka kini seperti warna sandal lama yang semakin pudar. Modernisasi
jelas meminggirkan mereka.

Minggu, 21 November 2010

pertama

tak mudah memegang amanat jabatan untuk mengelola sebuah program, kita dituntut untuk bekerja keras dan tentunya loyal.

Tepi Jaman, sebuah program news feature yang bernaung di tvone, adalah program feature yang berusaha mengingatkan kembali kepada penonton akan produk dan jasa yang sudah mulai dilupakan orang. tim dituntut bekerja keras untuk menembuskan proses liputan, tak mudah karena terlalu banyak pengusaha-pengusaha kecil yang enggan..cerita ini mungkin akan terus berlanjut sampai program ini ada